12 Januari, 2009

KISAH MEMBELI KAMBING QURBAN



Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan Qurban. Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku, dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan. Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya bersarung hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak terkecuali anak-anak yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan di-Qurban-kan pada Idul Adha nanti, sebuah pembelajaran yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini tentang pengorbanan Nabi Ibrahim & Nabi Ismail.


Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi memilih hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti. Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang, ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.

“Berapa harga kambing yang itu pak ?” ujarku menunjuk kambing coklat tersebut. coklat tersebut.

“Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super 2 juta rupiah tidak kurang,” kata si pedagang berpromosi matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.

“Tidak bisa turun pak ?” kataku mencoba bernegosiasi.

“Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal,” si pedagang bertahan.

“1 juta 500 ribu ya?” aku melakukan penawaran pertama.

“Maaf pak, masih jauh. ” ujarnya cuek.

Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan harganya.

“Oke pak bagaimana kalau 1 juta tujuh 750 ribu?” kataku. “Masih belum nutup pak ” ujarnya tetap cuek.

“Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?” ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.

“Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa datang ke sini sendiri. Tetap saja harus di angkut mobil pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput,” kata si pedagang meledek.

Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan harga selain yang sudah di kemukakannya di awal tadi. Pandangan aku alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari si coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga ratus ribu. Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban mobil. Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat halus tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang harganya kini selangit.

“Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang?” kataku kemudian.

“Nah yang itu Super biasa. 1 juta 750 ribu rupiah,” katanya.

Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang kakek menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi. Meskipun pakaian “korpri” yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.

“Gagah banget kambing itu. Berapa harganya mas?” katanya kagum.

“2 juta tidak kurang tidak lebih kek,” kata si pedagang setengah malas menjawab setelah melihat penampilan si kakek.

“Weleh larang men regane (mahal benar harganya)?” kata si kakek dalam bahasa Purwokertoan. “Bisa di tawar-kan ya mas?” lanjutnya mencoba negosiasi juga.

“Cari kambing yang lain aja kek,” si pedagang terlihat semakin malas meladeni.

“Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing apik lan gagah Qurban taun iki (Aku mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini).

Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk) mbayar koq mas,” katanya tetap bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari saku celananya. Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di bukanya, 16 lembar uang 100 ribuan dan 9 lembar uang 50 ribuan dikeluarkan dari dalamnya.

“Iki (ini) 2 juta rupiah mas. Weduse (kambingnya) dianter ke rumah ya mas?” lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.

Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya sejak tadi. Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima uang yang disodorkan si kakek, kemudian di hitungnya perlahan lembar demi lembar uang itu.

“Kek, ini ada lebih 50 ribu rupiah,” si pedagang mengeluarkan selembar 50 ribuan.

“Ora ono ongkos kirime tho ?” (Enggak ada ongkos kirimnya ya?) si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih.

“2 juta sudah termasuk ongkos kirim,” si pedagang yang cukup jujur memberikan 50 ribu ke kakek. “Mau di antar ke mana mbah?” (tiba-tiba panggilan kakek berubah menjadi mbah).

“Alhamdulillah, lewih (lebih) 50 ribu iso di tabung neh (bisa ditabung lagi),” kata si kakek sambil menerimanya. “Tulung anterke ning deso cedak kono yo (tolong antar ke desa dekat itu ya), sak sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid Baiturrohman, takon ae umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo pensiunan pegawe Pemda Pasir Mukti. InsyaAllah bocah-bocah podo ngerti (InsyaAllah anak-anak sudah tahu).”

Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah di sepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua yang disandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari X-Trail milikku. Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap di kayuhnya tetap dengan semangat. Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku. Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol, sanggup membeli hewan Qurban yang terbaik untuk dirinya. Aku tidak tahu persis berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek. Yang aku tahu, di sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti hanya petani dan para pensiunan pegawai rendahan.

Yang pasti secara materi, sang kakek sangatlah jauh di banding penghasilanku sebagai Manajer perusahaan swasta asing. Yang sanggup membeli rumah di kawasan cukup bergengsi. Yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga ban-nya saja cukup membeli seekor kambing Mega Super. Yang sanggup mempunyai hobby berkendara moge (motor gede) dan memilikinya. Yang sanggup mengkoleksi “raket” hanya untuk olah-raga seminggu sekali. Yang sanggup juga membeli hewan Qurban dua ekor sapi sekaligus. Tapi apa yang aku pikirkan ? Aku hanya hendak membeli hewan Qurban yang harganya bisa ditekan semurah mungkin, tidak lebih dari service rutin mobil X-Trail (jauh dibawah kemampuanku), kendaranku didunia fana ini.


Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya. Ya Allah, Engkau yang Maha Membolak-balikan hati manusia balikkan hati hambaMu yang tak pernah berSyukur ini ke arah orang yang pandai menSyukuri nikmatMu.





30 Oktober, 2008

Penantian...

Rangga Mandara
Salah satu bagian tulisan dalam Buku "Titian Harapan Dilembayung Hati"
karya : Rangga Mandara 2008 

Berdiri terpaku seorang diri ditelaga cinta. Memandang indah tangisan bahagia kelelawar, yang sedang menanti malam datang. Saat itu suasana senja disebuah lekukan pesisir pantai. Kupandang indah matahari sore. Kuberi tanda bahwa aku datang untuk mencoba memamahinya dalam menanti malam. Kukhabarkan pada langit, bahwa aku sepertimu, ada awan kelabu dalam hatiku, tidak terik namun tidak juga gerimis……
Sudah berhari-hari, telah berbulan-bulan dan kini hampir menahun aku menunggumu. Menanti khabar untuk hatiku yang sedang galau. Engkau yang jauh dari sisiku saat ini, menghadirkan tanya dalam sepi. Serasa aku yang dibuang. Aku mencoba menyadari, betapa pedihnya hati yang sedang menanti. Durjana yang kurasa bila sedang merindu.
Kasih, kunantikan engkau dalam tanya hampa yang terus menyelimuti jiwaku. Teringat aku ketika engkau mengatakan “ Tunggulah aku disini, karena aku yang akan kembali dengan segala impian yang kau semai .” Terasa berat ketika perpisahan untuk sebuah pertemuan kulalui. Rasa rindu yang mendera diriku saat ini, telah kubungkus indah dalam bingkai kepahitan, kutunggu angin yang berhembus kearahmu untuk kemudian ku kirim. Tunggu, menunggu, tertunduk didepanku, karena angin pun tak mampu menyampaikannya dihadapanmu. Bukannya angin itu tak mau mencarimu untuk disampaikannya kado yang kubungkus, namun apalah daya, segala penjuru tak tahu kemana harus mencari dirimu.
Kasih, jika saat ini kebetulan engkau mendengar suara bingkisan yang kukirim ini, tolong katakan pada angin yang berhembus dan menyapa hatimu, bahwa ada asa yang kau hembuskan untuk aku hirup. Hingga jiwaku yang telah menjadi cinta ini, bisa merasa tenang dalam buaian penantian yang dilantunkan syair.
Kasih, jika engkau tahu, sudah ada sepuluh lagu penantian dan kerinduan yang kulukis melalui syair dan alunan indah gitar yang kuciptakan khusus untukmu. Saat inipun, ditempat aku berdiri, ingin kunyanyikan syair itu, biarlah ombak yang berderu akan menyampaikannya. Tapi aku belum yakin kalau ombak yang kutemani saat ini tahu akan keberadaanmu dimana.
Kasih, biarlah lagu ini kusimpan dan akan kunyanyikan disaat engkau menyapaku nanti. Bukan pada mimpi indah, tapi pada hari yang indah. Dimana aku akan memelukmu, karena bahagia, kemudian menangis dihadapanmu karena engkau yang telah kembali. Hingga aku lupa akan waktu karena ceritaku tentang kisah penantianku padamu yang panjang.
Kasih, matahari kini hanya tinggal separuh, namun awan masih kelabu, adakah engkau seperti ini? Yang juga berdiri ditengah gurun kerinduan. Menanti aku dalam pelukkanmu? Hingga kemudian aku menangis dan lupa akan waktu? Semoga awan itu memang benar darimu, karena engkau yang sedang merindukkanku dan mengirimkannya untukku agar aku tahu bahwa engkau saat ini sedang merindukkaku, seperti halnya aku yang sedang menantimu. Walau kini matahari hanya terlihat remang cahayanya, namun aku yakin engkau belum beranjak dari tempatmu yang sedang merindukkanku. Hingga aku meninggalkan tempatku, dimana aku yang sedang menantimu dalam tatapan yang penuh harap.
Kini aku sadar malam mulai mengusikku dengan suasana kegelapan yang terasa mencekam. Air mataku pun memaksa untuk menetesi kepedihan dada yang sesak karena menanti. Aku berdoa, menengadahkan kepala dan mengulurkan telapak tangan. Semoga malam yang kian larut dengan kegelapan ini, bukannya keinginan dia yang aku nanti. Aku takut kehilangan dia ya Tuhanku. Walau hatiku mulai lelah karena menantinya, walau kakiku mulai rapuh karena berdiri disini mengharap khabar darinya, walau berbagai duri yang kurasa berkali-kali ketika aku berjalan hingga ketempat ini. Karena rinduku padanya. Biarkan ….! Biarkan semua itu menyerangku, menusuk ku dan membuatku tersiksa, asalkan Ia yang kunanti menyadari betapa aku mencintainya, menyanyanginya, merindukannya dan akan terus kunanti hingga jasad ini roboh ditempat ini.
Kasih, esok akan aku tanya fajar yang menyapa diufuk timur, apakah telah terkirim arti hadirku untukmu? Hingga aku tak tahu bagaimana memejamkan mata saat kegelapan menyelimuti padang-padang, rimba raya, dan segala belantara yang ada dimuka bumi.
Kasih, esok akan kuceritakan apa yang sedang aku pikirkan nanti malam, biar engkau tahu betapa aku menunggumu dalam jiwa dan ragaku.



Amahami, 2007